delik pidana
internasional
1. Kejahatan
perang
Pelaku
kejahatan perang ini disebut penjahat perang Kejahatan perang adalah suatu
tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang
oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil.. Setiap pelanggaran
hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran
yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap
kejahatan perang
Kejahatan
perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan
oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur
dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera
putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik
perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.
Perlakuan
semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap
sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga
sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam hukum kemanusiaan internasional,
kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Kejahatan
perang merupakan bagian penting dalam hukum kemanusiaan internasional karena
biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional,
seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21
adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan
Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB
berdasarkan pasal VII Piagam PBB.
Pada
1 Juli 2002, Pengadilan Kejahatan Internasional, yang berbasis di Den Haag,
Belanda, dibentuk untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi pada atau
setelah tanggal tersebut. Beberapa negara, terutama Amerika Serikat, Tiongkok
dan Israel, menolak untuk berpartisipasi atau mengizinkan pengadilan tersebut
menindak warga negara mereka.
Beberapa
mantan kepala negara dan kepala pemerintahan yang telah diadili karena
kejahatan perang antara lain adalah Karl Dönitz dari Jerman, mantan Perdana
Menteri Hideki Tojo dari Jepang dan mantan Presiden Liberia Charles Taylor.
Pada awal 2006 mantan Presiden Irak Saddam Hussein dan mantan Presiden
Yugoslavia Slobodan Milošević juga diadili karena kejahatan perang.
Keadilan
perang kadang dituding lebih berpihak kepada pemenang suatu peperangan, karena
beberapa peristiwa kontroversi tidak atau belum dianggap sebagai kejahatan
perang. Contohnya antara lain perusakan target-target sipil yang dilakukan
Amerika Serikat pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II; penggunaan bom atom
terhadap Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II; serta pendudukan Timor
Timur oleh Indonesia antara tahun 1976 dan 1999.
2. Terorisme
Terorisme adalah serangan-serangan
terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok
masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara
peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban
jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli
kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam
angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan
bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan
teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi,
dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan
pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung
oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris
umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan
perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata
terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari
tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam
perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan
agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme
bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state
terorism).Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual
terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York,
Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September
Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak
menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik
perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat.
Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya
ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung
Pentagon.
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan
Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14
ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai
berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes
any use of violence for the purpose putting the public or any section of the
public in fear.” Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain
merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang,
kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak
ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme
digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak
menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan
pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati
kehendak pelaku teror[6]. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan
tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja.
Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah
agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat
dikatakan lebih sebagai psy-war.
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa
pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari
jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak
menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of
Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against
State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun
1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan
paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai
Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala
Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang
menjadi korban adalah masyarakat sipil. Crimes against Humanity masuk kategori
Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai
bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang
tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi
peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil
yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini
semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan
bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan
kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace
and security of mankind). Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat
dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se , tergolong kejahatan
terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat
bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada
dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan
mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh
Undang-Undang.
Dalam rangka mencegah dan memerangi
Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang
digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional
maupun regional serta berbagai
negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai
kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan
sebagai Terorisme.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang
ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara
langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban
pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan
memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini
menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan,
diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme.
Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta
tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme[14], Pemerintah
Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003
disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.