Sebuah novel
sejarah yang mengulas tentang kedudukan bandar niaga maritim Benteng Somba Opu pada abad ke-17.
Dalam konstelasi persaingan dengan VOC berkaitan dengan
penguasaan jalur ekonomi perairan Indonesia Timur. Novel ini mengisahkan dua
kali perang laut antara armada Kerajaan Gowa dan barisan kapal perang VOC.
Perang pertama terjadi di Laut Masalembo, mempertemukan armada
Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Kapal Gallek Karaenta, dalam rangka
menghadang armada kapal VOC yang dipimpin Kapal De Leuwin dalam jalur
pelayaran menuju Benteng Fort Rotterdam dari Batavia. Sedangkan perang kedua
terjadi di laut Banda mempertemukan armada Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh dua
kapal perang Gallek Karaenta dan Tunipallangga yang berusaha
menghadang Armada VOC beserta sekutu-sekutunya yang dipimpin oleh Kapal Van
Hoyer.
Sebanyak 250 kapal perang dari kerajaan Gowa Makassar,
meninggalkan pelabuhan Galesong, menuju laut Banda. Beriringan dengan penuh
ketegangan dan membawa serta meriam “anak Makassar” yang begitu tersohor.
Diantara kapal-kapal itu, ada dua kapal yang berukuran lebih besar sebagai
pemimpin armada, namanya “Tunipalangga” dan “Gallek Karaenta”. “Tunipalangga”
di komondai oleh I Makkuruni dan “Gallek Karaenta” dipimpin oleh panglima
perang laut paling tersohor di Kerjaan Gowa, adalah Itanrawa Daeng Riujung
Karaeng Bontomarannu. Pasukan-pasukan Belanda menjulukinya Admiral Monte
Maranno.
Pada
10 Juni 1669, armada kapal Gowa itu menghadang 200 armada kapal Belanda yang
dipimpin oleh Admiral Johan van Daam. Dia adalah seorang pemipin yang pernah
menghadapi langsung I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape bergelar
Sultan Hasanuddin.
Johan van Dam didampingi oleh seorang perwira yang cakap
yakni Kolonel Marco de Bosch dan Kapten de Larssen. Tak hanya itu, beberapa
sekutu lainnya ikut menemani antara lain raja Kerajaan Bone Latenritatta
Aruppalakka, hingga perwakilan dari armada Buton dan Ambon. Para pembesar itu
berdiskusi ringan di atas kapal induk “Van Hoyer”. “Bagi orang-orang Bone,
Admiral, menghadapi Gowa sendirian pun kami bisa mengalahkan. Tapi, demi
persahabatan, kami hargai bantuan dan persahabatan dari kompeni Belanda, Ambon
dan Buton,” kata Aruppalakka.
Kapal-kapal itu, sesekali seperti terbang. Lalu dihempaskan
oleh ganasnya laut Banda. Dan rombongan kapal Belanda itu tak menyangka akan
dihadang oleh armada perang Gowa. Lalu, tiba-tiba dentuman meriam menyalak tiga
kali. Sebuah suara berdentum keras mengenai sasaran. “Bah! Verdoem man!
Puang Tatta Aruppalakka, boleh kamu sanjung dan puja-puji kehormatanmu secara
berlebih-lebihan di daratan! Di laut, di samudera, bahkan Kompeni pun belum
pernah mengalahkan mereka,” kata van Dam kalang kabut.
Pertempuran pun tak dapat dihindari. Semua kapal siaga. Van
Dam merasa terkurung. Strateginya mulai berjalan, beberapa kapal mulai
dibelokkan ke arah Selatan untuk mengurung pasukan Gowa. Tapi itu tak
berlangsung, sebab kapal rombongan Tunipalangga yang berpisah dengan Gallek
Karaengta sejak di laut Selayar lebih dulu berbelok menghadang dari arah
belakang.
Lalu tibalah saatnya, meriam “anak Makassar” di ledakkan.
Suaranya menggelegar memenuhi laut Banda yang diguyur hujan deras. Meriam itu
sangat dikenal dan ditakuti oleh Kompeni. Daya jangkau ledakannya sangat jauh
dan pelurunya sangat besar. Pasukan Belanda tak menyangka jika “anak Makassar”
akan dibawa serta ke lautan, karena keberadaannya sebelumnya adalah di dinding
benteng Somba Opu pusat utama kerajaan Gowa sebagai tameng pelindung.
Van Dam tak kuasa menahan geram. Dia terkurung dan tak mampu
berbuat apa-apa. Dia kemudian turun dari kapal induk Van Hoyer, bersama sekutu
kerajaan. Van Dam melarikan diri dan memrintahkan Marco de Bosch mengambil alih
pimpinan. Tapi de Bosch tak bisa berbuat apa-apa. Dia kemudian mati dalam
peperangan itu. Jasadnya terkubur di laut Banda
Menceritakan
mengenai barisan kapal perang VOC yang berhadapan dengan kapal Phinisi Kerajaan
Gowa dalam perang Makassar 1669. Kisah ini juga
diliputi kisah cinta antara I Makurruni, pemuda hamba kerajaan yang
diangkat menjadi perwira muda dalam dua perang tersebut dengan putri Raja Gowa I
Patimang, serta konflik keluarga kerajaan meskipun tidak menjadi sesuatu yang klimaks dari
kisah perang laut inI. epos perang dan kepahlawanan. Strategi perang
laut yang diterapkan hingga gemuruh meriam perang yang berdetum serta
adu pedang dan badik yang berakhir antara kemenangan atau
kekalahan. Namun novel ini
menyajikan satu sudut pandang saja, yaitu dari kerajaan Gowa. Sehingga timbul
pertanyaan bagaimana perspektif dari VOC sendiri dalam maksud menguasai jalur perdagangan vital di Indonesia Timur hingga
perspektif sekutu-sekutu VOC, salah satunya perselisihan antara Kerajaan Gowa
dengan Kerajaan Bone. Terlepas dari itu novel sejarah ini telah membawa
peristiwa tiga setengah abad yang lalu ke dalam imajinasi pembaca. Mengingatkan
kisah kehidupan Benteng Sompa Opu
di masa lalu..
Keberanian punggawa
kerajaan Gowa melawan kompeni Belanda
begitu dikagumi hingga kemudian nama
raja yang bergelar Sultan Hasanuddin diabadikan menjadi
nama sebuah universitas negeri terbesar di Indonesia Timur. Di sebut kampus
merah sebagai perwujudan warna panji kebesaran Kerajaan Gowa dalam menghadapi. Semangat badik dan padompe (senjata
dan destar khas Makassar) yang mengurat dalam sejarah masa lalu.
Assalamu alaikum dimana beli novelnya
BalasHapusAssalamu alaikum dimana beli novelnya
BalasHapus