WELCOME TO MY BLOG... :))) BUTUH PERJUANGAN DALAM MENGARUNGI HIDUP, BUAT YANG TERBAIK DALAM HIDUPMU.....

Minggu, 13 Oktober 2013

PENGADAAN TANAH DAN RUMAH SUSUN

Pengadaan tanah
Menelisik lebih jauh mengenai dasar hukum pengadaan tanah di Indonesia. Berdasarkan pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang”. Ini menjadi dasar hukum dapat dicabutnya hak seseorang atas tanah namun tetap dengan prosedur dan syarat tertentu. Kemudian selain aturan tersebut juga ada aturan mengenai pencabutan hak seseorang atas tanah yang termuat dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun !961 yang mana sebelumnya diatur dalam pasal 27 UUDS 1950 dan pasal 26 konstitusi RIS 1949.

Dalam Undang-undang Nomor 20. Tahun 1961 menyatakan bahwa “pencabutan hak milik (onteigening) untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan Undang-undang”.Ini dapat mengindikasikan bahwa jika hak seseorang atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum dan kerugiannya berdasarkan pada Undang-Undang. Sehingga ini bisa saja memunculkan ketidak adilan terhadap ganti rugi yang diberikan karena berdasar pada Undang Undang tidak pada kesepakatan bersama antara pemilik hak atas tanah dan pemerintah itu sendiri.

Kemudian lanjut kepada Keppres No 55/1993 mengenai pengadaan tanah, dalam Keppres ini muncul juga permasalahan mengenai ganti rugi terhadap pemegang hak atas tanah. Yang mana ganti rugi terkadang tidak sesuai dengan pengharapan maupun kemampuan eks pemilik hak atas tanah dapat membeli tanah yang sama seperti yang dimiliki sebelumnya. Inilah yang biasanya menimbulkan persilisihan antara pihak pemilik hak atas tanah dan pemerintah dalam pengadaan tanah. Pihak pemilik tanah masih merasa belum puas atas ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah sehingga mengharapkan yang lebih. Hal ini dapat pula berdampak pada kepentingan umum dalam pembangunan menjadi terhambat.

Dalam menangani permasalahan tersebut pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pebangunan untuk kepentingan umum  dan mengganti Keppres No. 55/1993. Yang mana atur ini mengedepankan pengadaan tanah yang cepat dan tranparan serta menghormati hak hak yang sah atas tanah. Namun aturan ini di tentang oleh masyarakat karena dianggap sangat repressif, Kapitalis, dan bertentangan dengan HAM bagi pemilik tanah itu sendiri. Hal ini dimungkinkan karena dalam pengaplikasiannya dalam masyarakat yang mengedepankan pengadaan tanah yang cepat sehingga melanggar HAM bagi pemilik hak atas tanah tersebut. Oleh pemerintah kemudian aturan ini diubah menjadi peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Dengan adanya Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006 ini, dalam ganti rugi terhadap pemilik hak atas tanah dilakukan dengan musyawarah atau kesepakatan antara pihak pihak yang bersangkutan. Sehingga ada kesesuaian terhadap keinginan pemilik hak atas tanah dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan mengedepankan penghormatan terhadap hak atas tanah. hal ini kontras atau berbeda dengan cara ganti rugi dalam aturan sebelumnya  yang tidak dilakukan dengan musyawarah.

Perang Makassar 1669, Prahara Benteng Somba Opu


 
Sebuah novel sejarah yang mengulas tentang kedudukan bandar niaga maritim Benteng Somba Opu pada abad ke-17. Dalam konstelasi persaingan dengan VOC berkaitan dengan penguasaan jalur ekonomi perairan Indonesia Timur. Novel ini mengisahkan dua kali perang laut antara armada Kerajaan Gowa dan barisan kapal perang VOC. Perang pertama terjadi di Laut Masalembo, mempertemukan armada Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Kapal Gallek Karaenta, dalam rangka menghadang armada kapal VOC yang dipimpin Kapal De Leuwin dalam jalur pelayaran menuju Benteng Fort Rotterdam dari Batavia. Sedangkan perang kedua terjadi di laut Banda mempertemukan armada Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh dua kapal perang Gallek Karaenta dan Tunipallangga yang berusaha menghadang Armada VOC beserta sekutu-sekutunya yang dipimpin oleh Kapal Van Hoyer.
Sebanyak 250 kapal perang dari kerajaan Gowa Makassar, meninggalkan pelabuhan Galesong, menuju laut Banda. Beriringan dengan penuh ketegangan dan membawa serta meriam “anak Makassar” yang begitu tersohor. Diantara kapal-kapal itu, ada dua kapal yang berukuran lebih besar sebagai pemimpin armada, namanya “Tunipalangga” dan “Gallek Karaenta”. “Tunipalangga” di komondai oleh I Makkuruni dan “Gallek Karaenta” dipimpin oleh panglima perang laut paling tersohor di Kerjaan Gowa, adalah Itanrawa Daeng Riujung Karaeng Bontomarannu. Pasukan-pasukan Belanda menjulukinya Admiral Monte Maranno.

Pada 10 Juni 1669, armada kapal Gowa itu menghadang 200 armada kapal Belanda yang dipimpin oleh Admiral Johan van Daam. Dia adalah seorang pemipin yang pernah menghadapi langsung I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape bergelar Sultan Hasanuddin.
Johan van Dam didampingi oleh seorang perwira yang cakap yakni Kolonel Marco de Bosch dan Kapten de Larssen. Tak hanya itu, beberapa sekutu lainnya ikut menemani antara lain raja Kerajaan Bone Latenritatta Aruppalakka, hingga perwakilan dari armada Buton dan Ambon. Para pembesar itu berdiskusi ringan di atas kapal induk “Van Hoyer”. “Bagi orang-orang Bone, Admiral, menghadapi Gowa sendirian pun kami bisa mengalahkan. Tapi, demi persahabatan, kami hargai bantuan dan persahabatan dari kompeni Belanda, Ambon dan Buton,” kata Aruppalakka.
Kapal-kapal itu, sesekali seperti terbang. Lalu dihempaskan oleh ganasnya laut Banda. Dan rombongan kapal Belanda itu tak menyangka akan dihadang oleh armada perang Gowa. Lalu, tiba-tiba dentuman meriam menyalak tiga kali. Sebuah suara berdentum keras mengenai sasaran. “Bah! Verdoem man! Puang Tatta Aruppalakka, boleh kamu sanjung dan puja-puji kehormatanmu secara berlebih-lebihan di daratan! Di laut, di samudera, bahkan Kompeni pun belum pernah mengalahkan mereka,” kata van Dam kalang kabut.
Pertempuran pun tak dapat dihindari. Semua kapal siaga. Van Dam merasa terkurung. Strateginya mulai berjalan, beberapa kapal mulai dibelokkan ke arah Selatan untuk mengurung pasukan Gowa. Tapi itu tak berlangsung, sebab kapal rombongan Tunipalangga yang berpisah dengan Gallek Karaengta sejak di laut Selayar lebih dulu berbelok menghadang dari arah belakang.

Minggu, 06 Oktober 2013

Delik Pidana Interasional


delik pidana internasional
     1. Kejahatan perang
          Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil.. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang
Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.

          Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam hukum kemanusiaan internasional, kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

          Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam hukum kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB.
          Pada 1 Juli 2002, Pengadilan Kejahatan Internasional, yang berbasis di Den Haag, Belanda, dibentuk untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi pada atau setelah tanggal tersebut. Beberapa negara, terutama Amerika Serikat, Tiongkok dan Israel, menolak untuk berpartisipasi atau mengizinkan pengadilan tersebut menindak warga negara mereka.
          Beberapa mantan kepala negara dan kepala pemerintahan yang telah diadili karena kejahatan perang antara lain adalah Karl Dönitz dari Jerman, mantan Perdana Menteri Hideki Tojo dari Jepang dan mantan Presiden Liberia Charles Taylor. Pada awal 2006 mantan Presiden Irak Saddam Hussein dan mantan Presiden Yugoslavia Slobodan Milošević juga diadili karena kejahatan perang.
          Keadilan perang kadang dituding lebih berpihak kepada pemenang suatu peperangan, karena beberapa peristiwa kontroversi tidak atau belum dianggap sebagai kejahatan perang. Contohnya antara lain perusakan target-target sipil yang dilakukan Amerika Serikat pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II; penggunaan bom atom terhadap Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II; serta pendudukan Timor Timur oleh Indonesia antara tahun 1976 dan 1999.

2. Terorisme
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism).Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.” Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror[6]. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind). Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se , tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang.
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta berbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme[14], Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.