WELCOME TO MY BLOG... :))) BUTUH PERJUANGAN DALAM MENGARUNGI HIDUP, BUAT YANG TERBAIK DALAM HIDUPMU.....

Minggu, 13 Oktober 2013

Perang Makassar 1669, Prahara Benteng Somba Opu


 
Sebuah novel sejarah yang mengulas tentang kedudukan bandar niaga maritim Benteng Somba Opu pada abad ke-17. Dalam konstelasi persaingan dengan VOC berkaitan dengan penguasaan jalur ekonomi perairan Indonesia Timur. Novel ini mengisahkan dua kali perang laut antara armada Kerajaan Gowa dan barisan kapal perang VOC. Perang pertama terjadi di Laut Masalembo, mempertemukan armada Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Kapal Gallek Karaenta, dalam rangka menghadang armada kapal VOC yang dipimpin Kapal De Leuwin dalam jalur pelayaran menuju Benteng Fort Rotterdam dari Batavia. Sedangkan perang kedua terjadi di laut Banda mempertemukan armada Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh dua kapal perang Gallek Karaenta dan Tunipallangga yang berusaha menghadang Armada VOC beserta sekutu-sekutunya yang dipimpin oleh Kapal Van Hoyer.
Sebanyak 250 kapal perang dari kerajaan Gowa Makassar, meninggalkan pelabuhan Galesong, menuju laut Banda. Beriringan dengan penuh ketegangan dan membawa serta meriam “anak Makassar” yang begitu tersohor. Diantara kapal-kapal itu, ada dua kapal yang berukuran lebih besar sebagai pemimpin armada, namanya “Tunipalangga” dan “Gallek Karaenta”. “Tunipalangga” di komondai oleh I Makkuruni dan “Gallek Karaenta” dipimpin oleh panglima perang laut paling tersohor di Kerjaan Gowa, adalah Itanrawa Daeng Riujung Karaeng Bontomarannu. Pasukan-pasukan Belanda menjulukinya Admiral Monte Maranno.

Pada 10 Juni 1669, armada kapal Gowa itu menghadang 200 armada kapal Belanda yang dipimpin oleh Admiral Johan van Daam. Dia adalah seorang pemipin yang pernah menghadapi langsung I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape bergelar Sultan Hasanuddin.
Johan van Dam didampingi oleh seorang perwira yang cakap yakni Kolonel Marco de Bosch dan Kapten de Larssen. Tak hanya itu, beberapa sekutu lainnya ikut menemani antara lain raja Kerajaan Bone Latenritatta Aruppalakka, hingga perwakilan dari armada Buton dan Ambon. Para pembesar itu berdiskusi ringan di atas kapal induk “Van Hoyer”. “Bagi orang-orang Bone, Admiral, menghadapi Gowa sendirian pun kami bisa mengalahkan. Tapi, demi persahabatan, kami hargai bantuan dan persahabatan dari kompeni Belanda, Ambon dan Buton,” kata Aruppalakka.
Kapal-kapal itu, sesekali seperti terbang. Lalu dihempaskan oleh ganasnya laut Banda. Dan rombongan kapal Belanda itu tak menyangka akan dihadang oleh armada perang Gowa. Lalu, tiba-tiba dentuman meriam menyalak tiga kali. Sebuah suara berdentum keras mengenai sasaran. “Bah! Verdoem man! Puang Tatta Aruppalakka, boleh kamu sanjung dan puja-puji kehormatanmu secara berlebih-lebihan di daratan! Di laut, di samudera, bahkan Kompeni pun belum pernah mengalahkan mereka,” kata van Dam kalang kabut.
Pertempuran pun tak dapat dihindari. Semua kapal siaga. Van Dam merasa terkurung. Strateginya mulai berjalan, beberapa kapal mulai dibelokkan ke arah Selatan untuk mengurung pasukan Gowa. Tapi itu tak berlangsung, sebab kapal rombongan Tunipalangga yang berpisah dengan Gallek Karaengta sejak di laut Selayar lebih dulu berbelok menghadang dari arah belakang.


Lalu tibalah saatnya, meriam “anak Makassar” di ledakkan. Suaranya menggelegar memenuhi laut Banda yang diguyur hujan deras. Meriam itu sangat dikenal dan ditakuti oleh Kompeni. Daya jangkau ledakannya sangat jauh dan pelurunya sangat besar. Pasukan Belanda tak menyangka jika “anak Makassar” akan dibawa serta ke lautan, karena keberadaannya sebelumnya adalah di dinding benteng Somba Opu pusat utama kerajaan Gowa sebagai tameng pelindung.
Van Dam tak kuasa menahan geram. Dia terkurung dan tak mampu berbuat apa-apa. Dia kemudian turun dari kapal induk Van Hoyer, bersama sekutu kerajaan. Van Dam melarikan diri dan memrintahkan Marco de Bosch mengambil alih pimpinan. Tapi de Bosch tak bisa berbuat apa-apa. Dia kemudian mati dalam peperangan itu. Jasadnya terkubur di laut Banda
Menceritakan mengenai barisan kapal perang VOC yang berhadapan dengan kapal Phinisi Kerajaan Gowa dalam perang Makassar 1669. Kisah ini juga diliputi kisah cinta antara I Makurruni, pemuda hamba kerajaan yang diangkat menjadi perwira muda dalam dua perang tersebut dengan putri Raja Gowa I Patimang, serta konflik keluarga kerajaan meskipun tidak menjadi sesuatu yang klimaks dari kisah perang laut inI.  epos perang dan kepahlawanan. Strategi perang laut yang diterapkan hingga gemuruh meriam perang yang berdetum serta adu pedang dan badik yang berakhir antara kemenangan atau kekalahan. Namun novel ini menyajikan satu sudut pandang saja, yaitu dari kerajaan Gowa. Sehingga timbul pertanyaan bagaimana perspektif dari VOC sendiri dalam maksud menguasai jalur perdagangan vital di Indonesia Timur hingga perspektif sekutu-sekutu VOC, salah satunya perselisihan antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone. Terlepas dari itu novel sejarah ini telah membawa peristiwa tiga setengah abad yang lalu ke dalam imajinasi pembaca. Mengingatkan kisah kehidupan Benteng Sompa Opu di masa lalu..
Keberanian punggawa kerajaan Gowa melawan kompeni Belanda begitu dikagumi hingga kemudian nama raja yang bergelar Sultan Hasanuddin diabadikan menjadi nama sebuah universitas negeri terbesar di Indonesia Timur. Di sebut kampus merah sebagai perwujudan warna panji kebesaran Kerajaan Gowa dalam menghadapi. Semangat badik dan padompe (senjata dan destar khas Makassar) yang mengurat dalam sejarah masa lalu.

2 komentar: